Ruang Tak Nyaman
Februari 05, 2024Seperti sesak hendak diimbangi dengan kipas angin besar. Berupaya meredam rasa aneh yang muncul di dada. Kegelisahan yang merindukan ujung. Pengakhiran kabar yang diharap melegakan. Hingga tarikan napas putus asa yang berucap, "tak apa Tuhan, asal ia tak pergi dari dunia ini. Jangan sekarang." Atau, "aku yakin kuasaMu, Tuhan."
Anak lelaki menguap tak tahu ia sedang dimana. Anak perempuan yang lainnya melihat lurus pemandangan di luar sana, menggoyangkan kakinya yang turut duduk di kursi tunggu.
Ramai. Tenang tapi membumbung di langit-langit bahwa semua doa-doa baik orang-orang disini, melangit. Berlomba-lomba untuk sampai kepada Tuhan.
Interaksi tak biasa, bercampur panggilan nama-nama secara berkala. Kapan aku selanjutnya? Sudah tak sabar, sudah tak tahan, sudah kesakitan. Begitu yang semua orang pikirkan.
Balita sayu dan rambut lurusnya yang tak rapi. Jelas tinggi suhu badannya hanya dengan dilihat saja. Bapaknya tak kalah gelisah. Ibunya berusaha tabah.
Suara roda besi menggelinding. Gantungan kunci bergemericik, mengimbangi langkah kaki cepat seorang ibu terburu-buru masuk melewati pintu khusus. Tidak semua orang boleh keluar masuk. Entah apa yang ada di dalam kantong plastik tentengannya. Yang jelas, itu barang yang saat ini sangat penting.
Orang-orang pasrah menggantungkan nasibnya pada mereka berseragam sama. Yang kesana kemari menangani orang silih berganti. Hentakan kaki tak sabar orang-orang bercampur suara tangis balita menahan kesakitan. Wajah sendu dan mata berkaca-kaca seorang wanita, didampingi pasangannya di kursi paling depan. Menguatkan.
Perbincangan basa-basi menjadi sefrekuensi. Saling mengenal ternyata, karena seseorang. Bisa saja seperti itu. Hal-hal tak terduga melingkupi ruangan tak nyaman ini. Remeh temeh hingga nyawa.
Lalu tak terasa sinar mentari sore muncul dengan tajam dari balik jendela kecil membentang. Siluet kipas angin terpampang jelas. Dinding itu sebagian berwarna terang. Kemudian menggelap perlahan-lahan.
0 comments