Let Me Tell You About My February - 1

Februari 20, 2022

Namaku Dafo, jangan salah paham, aku adalah seorang cewek. Dan.. aneh ya, namaku? Nama lengkapku juga hanya satu kata. Daffodil. Aku juga nggak tahu kenapa Ibu menamakanku seperti itu. Mungkin ingin anak semata wayangnya ini tumbuh seperti bunga daffodil? Yang membawa keberuntungan, semangat, kehormatan yang bagus, atau selalu menjadi orang yang cerah, ceria, dan membawa kebahagiaan. Atau ingin anaknya berkulit kuning? Karena biasanya bunga daffodil berwarna kuning. 

Tapi malangnya, menurut filosofis, bunga daffodil berarti membawa kabar buruk dan kematian ketika dia telah layu. Tapi itu kepercayaan orang Eropa. Syukurlah, aku tinggal di Indonesia. 

Jadi, aku memang lumayan ceria dan memiliki mood yang 90% bagus setiap harinya, saat bersama orang-orang. Tapi saat sendirian, yah, begitulah. Kadang juga hampir layu.

Apa kamu percaya tentang rasa yang tumbuh secara perlahan? Bahkan, apa kamu percaya rasa semacam itu bisa benar-benar terus tumbuh? Benar-benar ada? Apa kamu percaya cinta pada pandangan pertama? Atau cinta yang dimulai hanya dengan pembicaraan singkat dan tidak mengharapkan apapun pada mulanya?

Jadi, aku ingin membagi sebuah cerita rahasia. Tentang seseorang yang tidak sengaja menarik perhatianku, setahun yang lalu. Aku juga baru menyadarinya sekarang, kalau ternyata itu sudah berlangsung setahun yang lalu.

Pada waktu itu, aku mengikuti kegiatan terbuka di pantai, yang diadakan oleh organisasi pecinta alam di kampusku yang berkolaborasi dengan penangkaran penyu di salah satu pantai selatan. Aku mendapatkan informasi itu dari pesan salah satu grup di fakultas. Karena pesan tersebut, aku tiba di pantai sesuai jadwal, sore setelah ashar, setahun yang lalu.

------

"Mana? Kenapa nggak ada orang?" Dengan sendal jepit hitam yang sudah menyatu dengan pasir pantai hitam, aku berjalan mendekati rumah bangunan di pinggir pantai ini, yang memiliki papan bertuliskan 'Konservasi Penyu' di depannya. 

Celana kulot hitam, blouse santai hitam tiga per empat, dan rambut yang kukucir asal, semuanya sudah tertiup angin laut sore. Semilir. Aku memakai pakaian semi formal karena begitulah dresscode yang tertera di pengumuman.

"Katanya jam empat, ini kok masih sepi nggak ada orang," kataku lagi, bergumam sendiri. Hanya ada seorang bapak yang tiduran di bangku panjang yang sebenarnya tidak muat jika tubuhnya diluruskan. Kakinya ditekuk santai. Wajahnya ditutup salah satu lengannya sendiri. Sepertinya sedang tidur.

Angin pantai sore, suara ombak yang bergulung, matahari yang dalam hitungan jam akan segera terbenam, dan tempat ini yang masih sepi. Pemandangan laut menarikku untuk berjalan mendekat ke arahnya. Pantai ini benar-benar sepi. Tapi pantai sebelah selalu ramai. Kenapa ya? 

Aku melepas sandal jepitku dan berjalan mendekati air.  Berjalan-jalan santai dan mengambil beberapa foto pemandangan laut. Tadi juga sempat ada mobil jeep lewat, tour jeep pantai sepertinya.

Setelah beberapa kali jepretan, aku mulai sadar lagi dengan keadaan sekitar. Entah sudah berapa lama aku menikmati kesendirian dengan tepi pantai ini. Sampai kemudian aku melihat seorang bapak-bapak bertubuh gempal berdiri di dekat rumah konservasi. Aku mencuri pandang dari sini sambil memainkan ponselku. Akan canggung sekali bila aku harus bercakap-cakap dengan beliau, sedangkan aku tidak tahu apa-apa disini. Sepertinya bapak itu adalah dosen di kampusku, aku pernah melihatnya. Mungkin, beliau kemari sebagai pembimbing atau pengawas acara?

Bapak itu berkacak pinggang sambil memandang ke sekeliling, entah apa yang sedang dipikirkannya atau dicarinya. Sedangkan yang ada dalam benakku saat ini hanyalah, semoga orang-orang pecinta alam itu segera datang, termasuk Kak Mia, salah satu kenalanku yang mengirimkan informasi ini di grup fakultas kemarin. Ya, acaranya mendadak sekali.

Aku berjalan ke timur dan barat, pelan, mondar-mandir, seolah sibuk sendiri. Padahal harapanku masih sama, mengharapkan mereka cepat datang. "Mana sih Kak Mia, seenggaknya nongol gitu.. biar aku nggak kek bocah ilang banget." 

Sibuk sendiri memanglah solusi di kondisi seperti saat ini, karena jika aku menghampiri si bapak dosen itu, pasti akan terjadi percakapan. Dan aku memilih untuk menghindarinya.

Aku memutuskan untuk kembali ke rumah konservasi setelah tempat itu ditinggalkan oleh Bapak gempal tadi. Duduk di sebuah bangku panjang dan menghadap ke laut lepas. Sudah lama juga tidak bersantai seperti ini. Aku menghirup udara pantai yang segar. Menikmati sejuknya hawa ini sambil mengayunkan kakiku.

Setelah beberapa menit berlalu, lamunanku yang ditemani desir angin laut pun buyar. Akhirnya ada dua motor trail yang ditumpangi tiga orang sedikit heboh berhenti tepat di samping bangkuku. Dua orang berboncengan dan seorang lagi sendirian. Dua sopirnya masih nongkrong di atas motor masing-masing, sedangkan seorang penumpang alias pembonceng itu turun dan berdiri di antara aku dan dua motor trail itu. Sepertinya mereka juga anak kampus yang ikut acara hari ini. Tapi tentu saja, aku tidak mengenal mereka.

"Eh, Mbak? Sendirian? Dari tadi? Belum ada orang?"

Belum sempat aku menjawab, temannya sudah menerobos duluan, "nggak lihat Meng? ini Mbaknya duduk sendirian?" 

Ya, tempat ini memang hanya ada aku sendirian sedari tadi, sempat ditemani bapak gempal yang sudah pergi entah kemana? Oh, dan satu lagi, bapak-bapak yang masih terbaring di bangku teras rumah sana.

"Ikut acara pelepasan penyu Mbak?"

"Iya Mas, katanya jam empat gitu, tapi dari tadi belum ada yang dateng,"

"Biasa Mbak, anak-anak pasti molor.. soalnya pelepasannya juga masih agak sore nanti,"

Benar, mereka anak pecinta alam. Setelah kuperhatikan juga, mereka bertiga memakai kaos abu-abu, sama, seragam pecinta alam sepertinya.

"Dari tadi banget?"

"Lumayan,"

"Dari jurusan apa Mbak?"

"Ekonomi, hehe,"

"Bisa nyasar jauh banget ke komunitas pecinta alam?"

"Gimana sih, Meng? Emang ikut kegiatan pecinta alam harus jurusan tertentu gitu?"

Aku hanya ketawa mendengar mereka bertiga saling menimpali dengan candaan yang membuat waktu menunggu ini tidak membosankan seperti tadi.

"Itu tandanya kegiatan pecinta alam terkenal Meng,"

"Iya Njulll!"

"Semester berapa Mbak?"

"Empat Mas, hehe,"

"Dari tadi ngobrol belum tahu namanya, namanya siapa Mbak? Eh Dek?"

"Sa ae lo Meng!"

"Apa sih Njul!"

"Aku bilangin istrimu baru tau rasa!"

"Ini lagi bocah, apaan coba? Orang cuma tanya nama doang!"

Istri? Aku tertawa, "Panggil aja Dafo, Mas,"

"Kirain panggil aja Mawar.." kata cowok yang dipanggil Meng tadi, dengan nada mirip narasumber pembuat bakso daging tikus yang sedang diwawancarai media, dia menutup hidungnya, "halo, nama saya Mawar.."

"Kek laki-laki namanya Mbak?" yang lainnya mengajukan pertanyaan lagi.

"Kebetulan namanya Daffodil, salah satu nama bunga Mas.." 

Mereka tertawa.

"Yaampun Mbak, maaf ya, temen-temen saya ndeso, sampe nggak tahu ada nama bunga Dafodil."

"Iya, nggak papa Mas," aku tersenyum lagi. Sudah biasa. Tidak tersinggung sama sekali.

"Keren Mbak, namanya,"

"Makasih, Mas, hehe,"

"Nah, itu si ketua baru datang!"

Tiba-tiba pembicaraan basa-basi kita berempat berakhir setelah melihat sebuah motor datang dengan membawa kardus yang ditaruh di depannya. Lalu menyusul Kak Mia dan beberapa orang lagi di belakangnya, dengan motor. Termasuk bapak gempal tadi, yang berboncengan dengan seorang bapak-bapak juga.

Akhirnya.

Kita berempat mendekati mereka, orang-orang yang baru datang dan langsung bersiap-siap untuk memulai acara. Mereka menyiapkan semuanya. Penyu yang akan dilepaskan ke laut, dokumentasi, lalu sibuk sendiri. Bapak penjaga yang tadi tidur di bangku juga sudah bangun dan bersiap. Aku berdiri di pinggiran tanpa tahu apa yang harus aku lakukan. Oh, aku membawa keranjang kecil, untuk wadah penyu mungilnya nanti. Aku belum pernah memegang penyu mungil dengan tangan kosong, sama sekali. Sebenarnya aku ikut membawa keranjang ini membantu Kak Mia, supaya tidak kelihatan oon banget disini.

Setelah perisiapan sudah selesai, kami semua langsung diarahkan oleh bapak penunggu konservasi ke pinggir pantai. 

"Mas Dewa, ayo dibariskan dulu," ujar Bapak gempal membuat semuanya bersiap sedia, berbaris di pasir pantai hitam ini.

"Siap, Pak," katanya tak kalah tegas. "Yok! Gilang!" kemudian memerintahkan seseorang bernama Gilang, yang sudah siap mengambil alih aba-aba, berdiri di samping Mas Dewa.

Aku tahu nama ketua organisasi pecinta alam itu adalah Dewa. Sudah cocok sekali dengan jabatannya. Dewa. Tentu saja, ini juga bukan kali pertama aku melihatnya. Siapa coba di kampus ini yang nggak kenal Mas Dewa? Begitu dia menjabat sebagai ketua pecinta alam sejak tahun lalu, dia benar-benar terkenal hampir di semua fakultas di kampus ini.

Tapi ini adalah kali pertama aku terlibat satu acara dengannya dan orang-orang penting ini. Lihat saja, hanya aku manusia bawahan seorang yang ada disini. Remahan rengginang, mahasiswa kupu-kupu.

Dulu, di pertengahan atau menjelang akhir tahun lalu sepertinya, karena ini baru bulan kedua di tahun ini, dia pernah kebetulan bertemu denganku di kafetaria kampus, saat aku sedang serius-seriusnya mengecek materi presentasi di laptopku, tiba-tiba saja Mas Dewa bertanya basa-basi kepadaku, yang kebetulan aku duduk di bangku dekat stand tempat ia memesan makanan atau minuman.

"Ngerjain skripsi Mbak?" tanyanya tiba-tiba.

Aku menengok ke sumber suara yang kurasa sedang berbicara kepadaku, dan tidak kusangka seorang Dewa, ketua organisasi pecinta alam di kampusku menegur orang lain terlebih dahulu. Terlebih aku, yang bukan siapa-siapa ini. "Eh, enggak Mas."

Kemudian di pikiranku adalah, ini orang ramah juga ya ternyata? Eh, atau gabut, jadi random basa-basi sama orang tidak dikenal?

Wajahnya ramah, "oh, kirain ngerjain skripsi," katanya kemudian kembali berfokus pada pesanannya yang sudah jadi. Segelas teh poci. Dibungkus. Lalu dia pergi meninggalkan kafetaria setelah tersenyum tipis yang kubalas dengan anggukan canggung sekaligus bingung kepadanya.

Ngerjain skripsi? Setua itukah aku kelihatannya? Atau karena buku yang bertumpuk di mejaku dan aku yang sibuk melihat laptop sampai mengusiknya dan membuatnya bertanya terlebih dahulu?

Begitulah percakapan basa-basi pertama kami. Singkat sekali bukan?

"Siap Grak!" yang bernama Gilang pun membariskan kita semua.

Pak Gempal memulai pidato singkatnya setelah kami semua berbaris rapi. Sedangkan seorang cewek di sampingku, mencolek. "Dafo ya?"

"Hah? Iya Kak," jawabku kaget dan bingung. Tentu saja dengan suara yang pelan.

"Yaampun, aku Nita. Pasti kamu lupa,"

"Nita?"

"Iya, pembimbing ospekmu dulu,"

"Astaga, Kak Nita? Yaampun, maafin Kak, aku lupa.. lama banget udah nggak ketemu," jawabku tidak enak, dan masih berbisik pelan. Untung kami di barisan kedua. Ada sekitar 20 orang yang mengikuti acara sore hari ini.

Sesungguhnya aku kurang bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Bapak gempal yang ternyata memang pembimbing dua organinasi pecinta alam ini. Jadi, ngobrol sedikit dengan Kak Nita tidak masalah menurutku. Hehe.

"Iya, gapapa, namamu unik soalnya, jadi aku inget terus,"

"Makasih Kak Nit," aku tersenyum sungkan.

"Sekarang semester berapa sih?"

"Empat Kak Nit, hehe,"

"Ah aku malah udah molor skripsian ini," dia nyengir maklum. Seperti sudah terbiasa dengan keadaannya. Molor skripsian.

"Semangat Kak," aku tersenyum kikuk. Tidak tahu harus bereaksi bagaimana lagi. "Tapi masih aktif di organisasi ini?"

Dia mengepalkan tangan sambil tersenyum ceria. Benar-benar seperti sudah kebal dengan keadaannya. "Iya, buat hiburan juga biar nggak stres-stres amat nih,"

Aku terkikik.

"Ya, kita mulai saja langsung dengan masing-masing orang mengambil penyu yang sudah disiapkan ya, lalu kita berbaris lagi menghadap laut," pungkas pidato Bapak Gempal.

"Gilang! Bubarin barisannya.. woy," seloroh anak-anak cowok yang ada di barisan. Sebagian yang lainnya terkikik, karena Gilang masih beristirahat di tempat sedari tadi.

"Sibuk lihat cewek apa pantai sih?"

Gilang hanya tersenyum malu karena ledekan anak-anak, kemudian membubarkan barisan.

"Kak Nit, itu Gilang yang juga seangkatanku yang waktu ospek pernah nari heboh di panggung itu?"

Kak Nita mengangguk. "Iya."

"Pantesan wajahnya kayak agak nggak asing, tapi lumayan pangling sih,"

"Yaampun Daf, baru juga dua tahun,"

"Itu lama Kak, menurutku, hehe,"

Dia meringis sambil menepuk lenganku. Bersamaan dengan Gilang yang dahulu tidak setinggi ini membubarkan barisan. Kita semua balik kanan bubar jalan dan mengambil penyu untuk persiapan pelepasan.

"Kak Dafo ya?" seseorang tiba-tiba mendekatiku.

"Eh, iya? Siapa ini?" kataku agak ragu, lalu melihat wajahnya dengan seksama.

"Wati Kak, yaampun,"

"Iya Wat, Dafo emang pelupa banget, semuanya dia lupain,"

"Parah Kak Dafo," Wati setuju dengan pernyataan Kak Nita barusan.

"Yaampun, bukan gitu Kak, aku tuh emang suka lupa wajahnya  kalau lama nggak ketemu orangnya, maafin ya, hehe," aku mengaku.

Wati tertawa renyah. Aku dan dia sempat berada di organisasi yang sama setahun yang lalu. Saat aku masih di awal semester dua. Hanya sebentar, karena aku langsung keluar dari organisasi itu dan kelihatannya Wati masih aktif disana sampai sekarang. Malah, dia ikut pecinta alam juga.

"Sendirian aja Kak Daf?"

"Iya nih, kirain bakal rame banget, ternyata aku aja nih yang bukan siapa-siapa disini, hehe, jadi gak enak,"

"Ih, apaan sih Kak, enggak tahu," kata Wati sambil mengeluarkan ponselnya. Menggagalkan rasa 'enggak enak'-ku.

"Iya Daf, jangan gitu ah," tambah Kak Nita. "Dadakan juga sih, ya?"

"Iya, kok dadakan sih kak? Tumben banget?"

"Emang ada event khusus kayak tahu bulat gini Daf, jadi biar rada eksklusif, biar orang luar organisasi yang ikut pun juga orang-orang yang emang niat dan mau aja, gitu,"

"Iya, Kak Daf, sering-sering ikut ya, Kak?" tambah Wati setelah penjelasan singkat dari Kak Nita.

"Oh, gitu ya," aku manggut-manggut. "Semoga," tambahku. Tersenyum, yang sebenarnya berarti 'nggak janji'.

Wati mengacungkan jempolnya, lalu kembali menatap ponselnya. "Kak Dewa! Hotspotnya! Mati nih," ujar Wati sedikit lantang ketika kita semua sedang sibuk mengambil penyu masing-masing.

Kak Dewa menoleh ke belakang. "Nggak tahu, dibawa Mindi hapenya," katanya singkat.

"Mindiiii!" Teriak Wati kemudian.

Seorang cewek yang bernama Mindi, yang ada agak jauh dari kami pun baru menoleh saat mendengar teriakan Wati yang beradu dengan angin laut dan deburan ombak. "Apaaa?"

"Hotspotnya Kak Dewa,"

"Wuuuu..pake kuota dong, tetring ih!" sahut seorang cowok sambil tertawa, meledek.

"Apaan sih Lang! Orang buat kirim data yang tadi, ini gak ada sinyal hapeku,"

"Alesan luuuuu.." sahut cowok yang lain.

Mereka semua memang tampak akrab, dan memang akrab, terlihat dekat, dan memang dekat. Kecuali aku seorang. Benar-benar berkali-kali pikiranku sedari tadi dipenuhi kalimat 'aku salah nih, ikut kemari'.

Dekat sekali, sampai teriak hotspot disini tanpa peduli apapun juga. Gimana ya, awal mula minta hotspotnya tadi?

------

Beberapa orang disini berteriak lepas, mengiring kepergian para penyu itu menuju rumah mereka yang  sesungguhnya. Ada juga yang sibuk mengabadikan momen. Sedangkan aku hanya berjongkok sambil pasrah dengan rambutku yang sudah berkibar-kibar berantakan sedari tadi. Aku tersenyum, menatap penyu-penyu kecil itu berjalan menuju laut, menggemaskan sekali. Mereka akan bertemu ombak dan segera hidup bebas di laut lepas. 

Bertumbuh dengan baik ya, penyu-penyu...

"Kak Dafo?"

"Eh, iya," suara Mindi mengagetkanku.

"Aku juga jurusan Ekonomi, sama kayak Kak Dafo loh,"

"Iya? Semester berapa sih kamu?"

"Baru dua Kak, gimana,.. susah nggak ke depannya Kak?"

Dia tiba-tiba ikut berjongkok di sampingku yang masih menghadap ke laut. Mungkin Mindi tahu dari daftar peserta kalau ada kakak tingkat yang sejurusan dengannya ikut acara ini.

Aku tertawa, "nikmatin aja.."

"Iya, ya Mbak? Tinggal dinikmatin aja, pake overthinking segala, hm.. anak jaman sekarang.. dasar," komentar Kak Dewa.

Aku menegok ke arahnya. Dia ternyata berdiri berkacak pinggang tidak jauh di samping kanan Mindi. Apa dia ingat, dulu pernah menegurku di kafetaria?

"Apasih Kak, orang lagi tanya-tanya juga,"

Aku hanya tertawa mendengar mereka.

"Yang penting kerjain tugas-tugasnya, penuhi nilai-nilainya, bawa santai, udah, beres,"

"Iya juga ya Kak? Mau KKN dimana Kak?"

"Apasih anak kecil ini?" komentar Kak Dewa lagi.

"Apasih Kak!"

"Belum tahu nih, masih lama juga,"

Aku tersenyum ke arah Mindi yang manggut-manggut dan terlihat memikirkan sesuatu yang berat. Aku jadi ingin ketawa melihat raut mukanya. "Udah, santai aja," kataku menepuk lengannya.

Begitu para penyu-penyu kecil sudah masuk ke laut, kita semua diarahkan kembali ke dekat rumah konservasi untuk pembubaran, setelah itu baru boleh bermain di pantai lagi dengan bebas sampai entah kapan. 

Dan untuk diriku sendiri, sebelum terlampau jauh berada di antara orang-orang penting ini, aku akan meluncurkan alasanku untuk bisa meninggalkan tempat ini terlebih dahulu.

Pidato singkat Pak Gempal usai, beliau meninggalkan barisan dan Mas Dewa angkat bicara. "Sebelum benar-benar bubar barisan dan senang-senang di pantai, kita bagi snacknya dulu, biar nanti pulangnya nggak perlu repot lagi, ya?" 

"Main aja dulu gapapa, Wa!"

"Yaudah deh, bebas aja, ntar tapi balik lagi kesini, biar snacknya disiapin Mia sama yang lainnya,"

Kak Mia dengan tanggap langsung menuju ke arah bangku teras rumah konservasi, tempat kardus snack diletakkan. Begitu juga Mindi dan Wati.

"Bubar jalan!" Kata Gilang tegas, disusul tepuk tangan meriah oleh semua orang. Aku pun ikut-ikutan.

Orang-orang langsung membubarkan diri, menunggu snack. Aku berjalan menuju sendal jepitku di bawah pohon tak jauh dari tempat kita berbaris. Ada beberapa orang yang berjalan akan menuju pantai.

"Hitam-hitam kayak mau ngelayat Mbak Daf,"

"Iya, ya? Udah banyak yang bilang juga, hehe," jawabku kepada Gilang yang tiba-tiba menegurku.

"Sampai kuku kakinya juga ikut hitam, kayaknya pasir pantai hitamnya kalo nempel di kuku jadi gitu ya?" Ucap si laki-laki yang dari tadi dipanggil 'Meng' oleh teman-temannya. Dia sedari tadi mengajakku bercanda. Lucu juga.

Aku hanya tertawa.

"Fesyen Meng! Norak lu," ujar si 'Njul'.

"Enggak, kebetulan Mas, hitam semua," sanggahku. Sebenarnya, hampir semua isi lemariku memang hitam, dan pakaian hitam sudah menjadi kebiasaanku, sampai aku tidak sadar. Kemudian mereka bercanda sambil berlarian ke arah pantai.

Aku mengambil sandalku, berjalan ke arah bangku dimana Mas Dewa duduk sendirian dan aku akan segera meluncurkan alasan. 

"Mas, aku pamit duluan ya, soalnya masih ada acara,"

"Hayo, mau pergi kemana?" jawab Mas Dewa bercanda.

Iya, aku memang memanggil semua laki-laki dengan panggilan 'Mas', karena aku tidak terbiasa dengan sebutan 'Kak'. Itu hanya untuk perempuan.

"Enggak, ada acara soalnya, mau pergi sama temenku hehe,"

"Beneran nih temen?"

"Yaampun, namanya aja Viona," aku sedikit tertawa. Hm, jadi, orang ini memang ramah, ya?

"Bagi snacknya dulu Mbak," 

"Nggak usah Mas, buat yang lain aja."

"Oke kalau gitu, makasih ya Mbak ya, udah dateng,"

"Okay Mas, sama-sama, so fun today,"

Dia mengacungkan jempol, lalu aku berpamitan kepada yang masih ada disitu, termasuk Kak Mia, karena yang lain sudah berlarian di pantai. Lalu semuanya selesai.

------

Ya, sejak saat itu aku jadi kagum dengan si ketua pecinta alam. Dewa. Semenjak itu pula, kalau sahabatku, si Anggi menyuruhku cari pacar lagi setelah putus hampir dua tahun yang lalu, aku mulai punya alasan baru, "ntar Nggi, dapetin Mas Dewa tuh susah," kataku.

Aku hanya bercanda, benar-benar bercanda. Karena siapa juga yang tidak menyukai Dewa? Siapa yang nggak kenal Dewa? Ingat, aku hanya bercanda dan menggunakan candaan itu untuk menyumpali desakan Anggi. Memangnya siapa aku, sampai bisa mendapatkan Mas Dewa?

Aku juga sadar diri dan tahu diri. Tenang saja. Bahkan aku hanya pernah berbicara dengannya satu kali, bertemu dan terlibat acara juga satu kali. Semua itu pun juga hanya sebatas kebetulan saja. Aku juga ikut acara pecinta alam kemarin karena benar-benar tertarik, bukan karena Mas Dewa.

Sampai kemudian, perjumpaan yang lagi-lagi singkat pun terjadi. Saat aku membeli bulpen di koperasi kampus, mata kita bertemu. Dia sedang berada di kasir membayar sesuatu, dan aku yang baru selesai memilih barang, menuju kasir.

Kejadian itu berlangsung cepat sekali. Mungkin hanya hitungan detik, dia sedikit mengobrol dengan Budi, penjaga kasir yang kebetulan aku juga mengenalnya. Dia adalah anak Ekonomi. Begitu kita saling melihat dalam sekejap, aku langsung berbalik ke rak-rak display koperasi dan memilih-milih sesuatu disana sampai Mas Dewa pergi, keluar dari koperasi. Baru kemudian aku menuju kasir.

Yah, tanpa diduga, aku jadi tertarik dengan orang ini. Kayak.. menarik aja, gitu?

Itu semua terjadi setahun yang lalu. Sapaan singkat di kafetaria, acara pelepasan penyu, dan bertemu di koperasi. Lalu, tahun ini, tepat pada bulan yang sama, Februari, waktu kembali mempertemukan aku dan dia di koperasi lagi.

Ya, tanpa kuduga, tanpa kusangka.

------

 

Let Me Tell You About My February 2 : baca sekarang.


-----


You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Blog Archive