Dia Kupanggil Tuminah
Juni 03, 2020Mungkin beberapa temanku yang tahu, siapa itu Tuminah, dia akan seketika pula ikut merindu. Tapi sebentar, aku harus cukup kuat untuk menuliskan bentuk rindu ini dengan tidak membuat suasana menjadi bising karena suara tangisku, bukan? Tenang saja, sekarang aku sedang menahannya dengan berada di tempat ramai dan tetap menjaga raut wajahku, untuk tersenyum. Aku cukup kuat untuk menahannya.
Nggak papa, kan? Walau nanti sebentar-sebentar aku akan berhenti. Mengambil nafas, tersenyum, sebelum melanjutkan memeluknya dengan tulisan ini lagi.
Seorang gadis pantang menyerah yang tiba-tiba saja datang hampir setiap hari untuk menggangguku. Dimulai enam tahun lalu. Dia kupanggil Tuminah. Aku jadi ingat, bagaimana suaraku memenuhi lorong lantai dua, untuk meneriakinya kalau pura-pura tidak dengar saat aku panggil, "Tuuuummm!" panggilku kencang sekali.
Maaf teman-teman, aku mengungkitnya. Aku menyebutnya kembali. Aku hanya tiba-tiba ingin kembali menjenguk masa-masa indah itu. Yang dia selalu membuatku menggelengkan kepala. Kenapa ada gadis seunik itu?
Beberapa kali setelah dia selalu mengusikku dengan tingkah-tingkah aneh dan konyolnya, memang tak pernah membuatku marah, tak pernah membuatku berpikir untuk menjauhinya atau mengabaikannya, justru aku selalu berdiri tegak dan bersedekap tangan di dada, setelah dia selesai berakrobat, aku akan bilang "udah Tum?" sambil terkekeh. Kemudian dia akan mendatangiku dan memiting kepalaku. Seperti ingin mengajakku bergulat. Bukan, dia menyerangku terlebih dulu, dan aku selalu kalah. Dia senang sekali menekuk-nekuk tubuhku, tanpa ampun.
Yang menggiringku kemari kembali ke lorong ingatan ini adalah, ada sebuah tulisanku beberapa tahun lalu, mengatakan perihal aku bercerita tentang Tuminah telah membuat facebook dan datang mengunjungiku setelah sekian lama semenjak Ujian Nasional berakhir kami berdua tak pernah lagi bertemu.
Orang-orang mungkin sudah hafal, dengan tingkah laku kami berdua kalau sedang bersama-sama. Berlarian, kejar-kejaran, gendong-gendongan, adu mulut, sampai bermusuhan dan kembali akur lagi. Tapi banyak hal juga yang orang-orang mungkin nggak tahu. Misalnya, obrolan kita berdua.
Suatu waktu, kami pernah duduk berdua di dipan kasurku yang hanya muat untuk tidur satu orang saja itu. "Nina, kamu tahu nggak? Kenapa aku selalu gangguin orang?"
"Nggak kaget sih, aku, kalau kamu suka usilin orang," kataku sambil duduk memandangnya yang setengah berbaring dan memainkan boneka kelinci merah jambuku. Memang, gadis berwajah kearab-araban yang suaranya justru seperti orang Melayu itu, dulu pernah kukira orang Malaysia karena pertama kali aku justru mendengar suaranya tanpa melihat wajahnya, ia bernyanyi, suaranya bagus. Dia suka jahil sama teman-temannya. Tapi sangat bodo amat dengan sekitarnya dan orang-orang yang tidak dikenalnya.
"Bukan gitu maksudnya, Nin, tapi.. kenapa coba aku sering gangguin kamu, Sita, Ayu, selama ini?"
"Kenapa?"
"Karena aku lagi cari temen,"
Aku hanya diam, menunggu dia menjelaskan kalimatnya. Mencari teman?
"Aku sengaja Nin, ngusilin kamu, buat tahu, kamu betah nggak sama aku, sama semua tingkah lakuku, aku cari temen yang bener-bener tulus, yang bener-bener nerima aku, dan kamu ternyata bisa nerima kelakuanku itu semua,"
Aku tersenyum mendengarnya. Sekaligus senang.
Suatu waktu, kami pernah duduk berdua di dipan kasurku yang hanya muat untuk tidur satu orang saja itu. "Nina, kamu tahu nggak? Kenapa aku selalu gangguin orang?"
"Nggak kaget sih, aku, kalau kamu suka usilin orang," kataku sambil duduk memandangnya yang setengah berbaring dan memainkan boneka kelinci merah jambuku. Memang, gadis berwajah kearab-araban yang suaranya justru seperti orang Melayu itu, dulu pernah kukira orang Malaysia karena pertama kali aku justru mendengar suaranya tanpa melihat wajahnya, ia bernyanyi, suaranya bagus. Dia suka jahil sama teman-temannya. Tapi sangat bodo amat dengan sekitarnya dan orang-orang yang tidak dikenalnya.
"Bukan gitu maksudnya, Nin, tapi.. kenapa coba aku sering gangguin kamu, Sita, Ayu, selama ini?"
"Kenapa?"
"Karena aku lagi cari temen,"
Aku hanya diam, menunggu dia menjelaskan kalimatnya. Mencari teman?
"Aku sengaja Nin, ngusilin kamu, buat tahu, kamu betah nggak sama aku, sama semua tingkah lakuku, aku cari temen yang bener-bener tulus, yang bener-bener nerima aku, dan kamu ternyata bisa nerima kelakuanku itu semua,"
Aku tersenyum mendengarnya. Sekaligus senang.
0 comments