Prolog
Juni 03, 2022Ini adalah jawabanku atas "kenapa masih setia terjebak?"
Mungkin duri dan semak belukar, juga sebagian tanah tandus, subur, juga retak di pekarangan berpagar tinggi ini sudah muak dan bosan melihatku menari tanpa henti. Tak peduli langit sedang bertumpah air atau sedang cerah merekah, tak peduli angin sedang bertiup kencang atau bersemilir lembut, kakiku tak jua berhenti. Dengan gaun pendek hitam yang semakin usang dan air muka yang tak kunjung menyatakan secara terang-terangan, bagaimana rasa hatiku sedang berdebar atau hancur atau justru memang sudah mati rasa. Tapi yang jelas, satu hal yang aku tahu tentang diriku sendiri setelah sekian tahun menari tanpa henti adalah bahwa aku kebingungan menentukan rasa apa ini yang ada dalam hatiku, terlalu membingungkan karena tercampur aduk dengan tawa juga luka, hingga aku tak tahu, mana suka cita, mana duka cita.
Aku terjebak di lahan berpagar tinggi ini sejak lebih dari dua tahun lalu, di sebuah dermaga yang gelap, sepi, dan berbau perpisahan. Ia pergi, meninggalku sendiri tanpa pamit, hanya mengatakan bahwa aku lumpuh dan dia ingin berlari. Sehingga dermaga ini berubah menjadi benar-benar berbau perpisahan yang begitu menyengat. Aku duduk di kursi kayu usang dengan gaun hitam yang masih sama seperti detik itu, yang awalnya berlawanan warna, namun lama kelamaan menggelap mencerminkan perasaanku, yang kacau balau dan menderita.
Saat yang begitu kosong, ketika aku menatap kapal yang retak dan ingin ia tambal sendiri itu pergi menjauhi dermaga. Tanpa lambaian selamat tinggal, dia tak terlihat di antara awaknya, dan tangisku pecah, air mataku semakin deras, karena aku tak bisa berbuat apa-apa. Kenapa aku tidak mati saja? Kenapa harus lumpuh dan sesekarat itu bahkan untuk hanya bisa mengedipkan mata atas kepergiannya?
Lalu lautan kembali tenang tanpa ada lagi pemandangan, di mataku hanya ada bayang-bayang kapal yang kusebut 'kapal kami' dahulu, masih disana, menjemputku kembali untuk berlayar bersama lagi. Tapi mustahil, lama sekali aku menatap laut lepas, dan hanya gaunku yang semakin menghitam.
Aku tersentak beberapa hari kemudian, karena kursi kayu yang usang itu berderit dan seekor kupu-kupu hitam muncul mengitariku. Sibuk sekali mencuri perhatianku yang tak minat pada apapun sebelumnya sama sekali. Hingga ia hinggap di ujung jemari kakiku. Ah, ternyata tak ada alas pada kaki 'lumpuh' itu. Dan ternyata kedua kaki polos itu memang terkait kuat dengan rantai besi di kursi usang yang mungkin saja bisa ambruk sewaktu-waktu. Tak kuasa lagi menahan beban dan sesak hatiku.
Aku kembali berkedip dan bertanya, apa lagi yang akan dilakukan kupu-kupu hitam ini?
0 comments