Sri Ningsih, Tokoh Fiksi yang Menginspirasi : dari Novel Tentang Kamu Karya Tere Liye
Januari 20, 2017“Aku ingin sekali punya hati seperti miliknya. Tidak
pernah membenci walau sedebu. Tidak pernah berprasangka buruk walau setetes.” Itulah salah satu
ungkapan sahabat Sri Ningsih, Nur’aini.
Ada
banyak cerita novel dengan tokoh yang menakjubkan. Membuat pembacanya larut
dalam cerita, ikut terbawa emosi hingga perasaan menanggapi karakter dari tokoh
tersebut menjalani alurnya. Salah satu novelis produktif yang telah memiliki
tempat di hati penikmat novel di Indonesia adalah Tere Liye. Seorang akuntan
yang hobi menulis dengan 26 novel yang telah terbit. Dari sekian banyak novel
yang telah ditulisnya, salah satu yang paling membuat gemas adalah novel yang berjudul “Tentang Kamu”. Novel tersebut bukan
sepenuhnya tentang cinta seperti yang terlintas ketika mendengar judulnya.
Melainkan sebuah cerita perjalanan panjang seorang pengacara dari London yang
mencari jejak dan surat wasiat Sri Ningsih, orang Indonesia yang baru saja meninggal
di Paris dengan harta warisan berjumlah satu miliar poundsterling. Cerita yang
berhasil mengaduk-aduk hati pembaca dengan kemuliaan sifat dari Sri Ningsih
dalam menghadapi perjalanan hidupnya yang begitu luar biasa.
Terkadang
perubahan tidak selalu berawal atau terinspirasi dari kisah nyata. Karena pada
dasarnya ketika seseorang telah tersentuh hatinya dan tergerak atas kesadarannya
menanggapi apa yang telah ia dapatkan, seperti dari membaca, melihat, atau juga
mendengar, maka disitulah seseorang dapat merasakan kemudian berfikir. Apakah
hatinya tergugah kemudian ia bergerak untuk melakukan apa yang menginspirasinya
untuk bertindak lebih baik dalam membenahi diri dengan pelajaran yang telah ia
dapatkan untuk hidupnya ke depan? Atau hanya mengiyakan dan setuju, lalu
beberapa saat kemudian hilang tidak berbekas dan tidak mengubah dirinya?
Sri
Ningsih dengan segala kemuliaan hatinya menghadapi ujian dan cobaan hidup, kisahnya
dari kecil hingga kematiannya, telah menginspirasi saya dan kemudian pelajaran
yang saya dapatkan itu, berusaha saya tanamkan di kehidupan saya. Setiap orang
memang memiliki jalan hidup masing-masing dan cara masing-masing dalam
menjalaninya. Tetapi, kita bisa mengambil pelajaran dari mana saja, termasuk dari
tokoh fiksi tersebut, jika kita mau.
Anak
pelaut tangguh yang tangguh pula itu telah membuat janji dalam hatinya seketika
usai dinasehati oleh bapaknya. “Hormati
dan patuhi ibu, lakukan apa yang dia suruh tanpa bertanya, turuti apa yang dia
perintah tanpa membantah. Jangan mudah menangis, jangan suka mengeluh,
bersabarlah dalam setiap perkara.” Dan benar saja, nasehat itu Sri Ningsih patuhi,
hingga bapaknya tak kunjung datang dari melaut, ia juga tetap berbakti kepada
ibu tiri yang tak lagi menyanyanginya. Terkadang, kita begitu berat
melangkahkan kaki ketika hanya disuruh ibu membeli bumbu dapur ke warung dekat
rumah dengan segala alasan. Terkadang kita lupa bertanya kepada hati, apa yang
sudah kita lakukan untuk kedua orang tua? Apa yang sudah kita korbankan kepada
orang tua? Sementara kita selalu menuntut hak kepada mereka tanpa menyadari
bahwa sedikit sekali kewajiban yang telah kita lakukan kepada mereka. Terkadang
kita lebih banyak menghabiskan waktu bermain dengan teman-teman ketimbang dengan
orang tua.
Selain
patuh dan taatnya Sri Ningsih terhadap kedua orang tuanya yang menginspirasi
saya, adalah kesabarannya. Tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk
menjadi orang yang sabar. Tapi Sri Ningsih selalu memegang nasehat bapaknya
agar dia terus bersabar dalam setiap perkara, hingga janji yang ia pahat dalam
hati membuatnya kuat, tetapi tetap saja membuatnya harus rela memeluk semua
rasa sakit sendirian. Seringkali kita cepat mengeluh tanpa peduli bahwa di luar
sana ada yang lebih tidak beruntung dari keadaan kita saat ini. Seringkali kita
cepat marah hanya karena hal sepele, padahal itu bisa diselesaikan secara
baik-baik atau bahkan itu bisa jadi tidak akan menjadi masalah.
Sri
Ningsih sendiri pernah bertanya, apakah
sabar ada batasnya? Hingga pada suatu ketika, ia tahu bahwa ketika
kebencian, dendam kesumat sebesar apa pun akan luruh oleh rasa sabar.
Gunung-gunung akan rata, lautan akan kering, tidak ada yang mampu mengalahkan
rasa sabar. Selemah apa pun fisik seseorang, semiskin apa pun dia, sekali di
hatinya punya rasa sabar, dunia tidak bisa menyakitinya. Tidak bisa. Dan hal
itu dapat dilihat dari perjalanan hidupnya ketika kecil, rela putus sekolah,
tanpa bapak dan ibu kandung, hanya dengan ibu tiri yang kian membencinya, tapi
ia selalu mempunyai sabar. Betapa tidak mudah untuk tetap sabar?
Dan
hal paling populer di setiap manusia, tetapi sedikit yang tak turut mengakar
dalam jiwa dan kehidupan sehari-harinya, adalah kejujuran. Satu sifat lagi dari
Sri Ningsih yang terus menyemangati saya, pula turut membentengi dan menjadi
pengingat saya, bahwa kejujuran adalah hal yang paling penting. Sri tidak pernah berbohong dalam hidupnya,
dan dia tidak akan tergoda untuk mulai berbohong. Berbohong itu candu.
Sekali kita mencobanya, maka akan ketagihan. Sekali saja kita mencari-cari
alasan kemudian berbohong, maka selanjutnya akan dipenuhi kebohongan pula.
Selanjutnya
adalah sifat tangguh milik Sri Ningsih yang membuat saya malu. Dalam ‘keadaan’
yang tidak lebih buruk darinya, justru saya tidak lebih dari semangatnya.
Pekerja keras, bekerja dari pagi, istirahat larut malam. Itulah yang dilakukan
oleh Sri Ningsih. Tentang keteguhan hatinya, katanya, saat kita sudah melakukan apa yang terbaik dan tetap gagal, apa lagi
yang harus kita lakukan? Berapa kali kita harus mencoba hingga tahu bahwa kita
telah tiba pada batas akhirnya? Dua kali, lima kali, sepuluh kali, atau
berpuluh-puluh kali hingga kita tak dapat menghitungnya lagi? Berapa kali kita
harus menerima kenyataan, untuk tahu bahwa kita memang tidak berbakat, sesuatu
itu bukan jalan hidup kita, lantas melangkah mundur? Jawabnnya adalah
pertanyaan terpentingnya bukan berapa kali kita gagal, melainkan berapa kali
kita bangkit lagi, lagi, dan lagi setelah gagal. Karena jika kita telah gagal
seribu kali, maka pastikan kita bangkit seribu satu kali. Sri merasakan
bagaimana terpuruknya sulit mencari kerja di ibu kota, bagaimana ia dikhianati
padahal dalam hidup ini kejujuran adalah hal penting, tapi kemudian ia juga
sangat berhak mendapatkan ‘keberuntungan’ dari kerja keras dan pantang menyerah
yang ia miliki. Yang Sri Ningsih tahu adalah, ketika ia tetap berdiri kokoh,
maka orang-orang di sekitarnya, orang-orang yang bekerja dengannya juga akan
ikut kokoh. Entah yang tadinya ia hadapi adalah masalah, atau tantangan agar ia
semakin kuat dan tahan banting. Yang Sri Ningsih tetap genggam ialah, tak
pernah sedikit pun ia membiarkan hatinya berprasangka buruk dan membenci orang
lain. Kepada Tuhan pun, ia harus mengendalikan pikiran agar berbaik sangka.
Mungkin semua rasa sulit yang ia tanggung adalah cara Tuhan melihatnya seberapa
kuat bisa melewati kesulitan itu dan boleh jadi karena Tuhan masih
menyayanginya dengan mengujinya bertubi-tubi. Sekali lagi, Sri Ningsih selalu
punya rasa ikhlas atas apa yang ia terima. Tidak
mengapa, tidak masalah, dulu juga aku tidak memiliki apa pun saat meninggalkan
Pulau Bungin. Memulainya lagi dari nol mungkin akan membuatku lebih memahami
banyak hal dan lebih pandai bersyukur.
Ada
banyak hal-hal hebat yang tampil sederhana. Bahkan sejatinya, banyak momen
berharga dalam hidup datang dari hal-hal kecil yang luput kita perhatikan,
karena kita terlalu sibuk mengurus sebaliknya. Hati manusia persis seperti
lautan, penuh misteri. Kita tidak pernah tahu kejadian menyakitakan apa yang
telah dilewati oleh seseorang. Sri Ningsih tergambar jelas hatinya bagai
kristal tanpa cacat. Memaafkan semua orang yang menyakitinya, dia bersedia
mengalah, menelan seluruh kepedihan yang dilakukan orang lain kedanya. Dan seperti
yang dikatakan oleh penulisnya, tetap saja, hati Sri Ningsih tidak terbuat dari
baja, yang tidak bisa tergores. Dia tetaplah wanita biasa. Saat orang
melihatnya begitu tegar menghadapi apa pun, orang-orang tidak tahu seberapa
besar perjuangannya membujuk dirinya sendiri untuk sabar, melepaskan,
melupakan, dan semua hal yang ringan dikatakan, tapi berat dilakukan. Karena
bila bicara tentang penerimaan yang tulus, hanya yang bersangkutanlah yang tahu
seberapa ikhlas dia telah berdamai dengan sesuatu. “Jadilah seperti lilin, yang tidak pernah menyesal saat nyala api
membakarmu. Jadilah seperti air yang mengalir sabar. Jangan pernah takut
memulai hal baru.” Itulah salah satu pesan Sri Ningsih.
Sri
Ningsih telah mengisnpirasi saya, tentang kepatuhan dan taatnya kepada orang
tua, kesabarannya, kejujurannya, ketangguhannya, rasa ikhlasnya, kerja keras
dan pantang menyerah yang ia miliki. Dan yang terakhir adalah juz kelima dalam
buku hariannya yaitu tentang memeluk semua rasa sakit. Seberapa pilu mendengar
pekerja keras itu memanggil ibu dan bapaknya yang telah tiada? Lalu bercerita
tentang perjalanan hidupnya, mewujudkan cita-cita orang tuanya untuk melihat dunia
luas. Sri Ningsih pun kemudian tahu bagaimana agar bisa berdamai dengan begitu
banyak hal menyakitkan dan menyesakkan? Yaitu ibarat menyebrangi hujan untuk
berteduh, adalah dengan ikut menari bersama tiap tetesnya, tarian penerimaan,
tidak melawannya, karena akan sia-sia, pasti basah. Dan tentang perjalanan
hidup Sri Ningsih, membuat saya untuk tidak lagi menyia-nyiakan kehidupan ini.
/sebenernya ini tugas akhir semester makul filsafatku sih..
2 comments
makasih tulisannya
BalasHapusSama sama. Terimakasih kembali sudah membaca :)
Hapus