;

April 08, 2022

Dia masih bernafas hingga kini pada akhirnya. Mengurungkan niat entah bisa disebut baik atau buruk, ketika ia dalam perjalanan pulang, saat itu.

Hah? Pulang? Apa kau benar-benar menyebut ini sebagai 'pulang'? Apa kau sudah gila?

Sesuatu yang lebih besar melanda. Ya, lebih besar bagi mereka. Kehampaan itu turut menemaninya hingga sebuah kamar berukuran sedang tempat ternyaman tapi tak senyaman ketika ia berada di luar. 

Kau salah. Aku tak lagi punya rumah. Tak ada yang bernama pulang, tak ada yang bernama hal semacam itu. Sejak kapan aku punya? Sejak aku sadar pun, aku tak punya. Satu-satunya tempat terwaras telah meninggalkanku sejak dulu kala. Sejak aku bahkan belum tahu apa itu hidup.

Dari tempat terwaras itu pula, kini aku tahu bagaimana aku bisa mengakhiri ini semua. Apa aku harus menempuhnya? Ijinkan aku tertawa!

Semakin hancur sepertinya, apa yang ada di dalam dadanya. Remuk berkeping-keping, yang hanya ia kumpukan di sudut ruang dalam dadanya itu. Tanpa merapihkannya, karena ia bahkan tak tahu bagaimana caranya. Atau berbagai cara telah ia coba, dan tak ada satu pun yang menjauhi dari kata gagal. Sukses tak berhasil semuanya.

Semua orang mengaku menderita dan paling berkorban dan berjasa dan maha segalanya di depanku. Seolah aku memang layak untuk meminta dan terus menerus dikasihani. Terus menerus menjadi sasaran empuk untuk harus pasrah dikatakan apa saja semau mereka. Lalu, kau masih saja ringan menyebut aku bisa berpulang? Yang kutahu, sekarang berpulang hanya ada dua.

Pasti ia akan menyebut salah satunya adalah manusia terbangsat yang pernah ia sebut dan pernah menginjak ruang di dalam dadanya itu. Seorang manusia yang ia rasa sebagai seburuk-buruknya tempat yang paling pantas untuk ia bisa berpulang.

Akalnya memang sudah tidak waras. Antara ia sudah tak bisa lagi mengendalikan, atau terlalu jauh dengan Tuhan.

Ternyata kau masih kurang ajar. Coba kau katakan, bahkan siapa lagi telinga yang mendengar dan mata yang melihat, lalu mulut yang meredam, siapa yang akan melakukan itu semua kala aku bisa meluapkan segala rasa? Termasuk duka lara dan segala celoteh tak berirama?

Seharusnya memang tak perlu banyak kata, karena yang persis ia butuhkan hanya satu; menangis lega. 

Dan benar, kadang air mata ini hanya ingin disaksikan seseorang, bahkan tanpa komentar, sebentar. Itu saja. Tapi tak ada. Tak bisa.

 

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Blog Archive